Permasalahan karakter bangsa semakin hari semakin menjadi sorotan tajam masyarakat. Hal tersebut dapat terlihat dari maraknya isu terkait karakter yang diangkat di media massa, serta menjadi topik yang hangat dibicarakan oleh para pemuka masyarakat, para ahli, pengamat sosial, dan kalangan lainnya di berbagai kesempatan baik itu forum resmi maupun tidak. Korupsi, berita hoax, ujaran kebencian, kekerasan, perkelahian massa, pelanggaran hak asasi manusia, pencurian, pembunuhan, kehidupan ekonomi yang konsumtif serta kehidupan politik yang tidak produktif adalah sebagian kecil dari kasus terkait moralitas bangsa. Hal ini dibuktikan dengan beberapa fakta berikut: menurut data yang dirilis KPK per 30 September 2018, KPK telah melakukan penanganan kasus tindak pidana korupsi dengan rincian 127 perkara penyidikan, 101 penuntutan, incracht 75 perkara dan eksekusi 80 perkara.
Berdasarkan Catatan Kominfo Tahun 2018, terdapat 800.000 situs penyebar hoax di Indonesia dan selama 2017 Kepolisian Republik Indonesia telah menangani 3.325 kasus ujaran kebencian. Pendidikan di Indonesia yang dibangun sejak puluhan tahun yang lalu, ternyata belum mampu memperlihatkan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berkarakter, kreatif dan mumpuni di bidangnya. Bahkan bisa dikatakan, kualitas karakter SDM yang lahir dari proses pendidikan justru cenderung menurun. Hal ini dibuktikan oleh salah satu hasil survei yang dikeluarkan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2010, yaitu bahwa Indonesia merupakan pelanggar HKI (Hak Kepemilikan Intelektual) tertinggi di Asia, yaitu dengan skor 8.5 dari skala 0 hingga 10. Meskipun trennnya menurun dari tahun 2002 hingga tahun 2006, namun kemudian naik kembali pada rentang tahun 2006 hingga 2010, bahkan melonjak drastis dari tahun 2009 ke 2010 dengan selisih skor mencapai 0.95.
Fenomena memburuknya kualitas SDM seperti yang telah dipaparkan menjadi salah satu pemicu munculnya kebijakan pemerintah (Kementerian Pendidikan Nasional) berupa pendidikan karakter yang tertuang dalah kurikulum 2013 yang diharapkan mampu memenuhi tuntutan untuk menghasilkan SDM yang kreatif, mempunyai daya saing serta berakhlak mulia. Oleh karena itu, sangat tepat jika kurikulum, yang merupakan jantung pendidikan, memberi perhatian lebih pada pendidikan budaya dan karakter bangsa dibandingkan sebelumnya.
Karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah dari raga seseorang atau sekelompok orang (Setiawati, 2017:349). Karakter bangsa Indonesia haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendidikan adalah usaha sadar, terencana dan terstruktur untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Sedangkan karakter merupakan sifat khusus atau moral dari perorangan maupun individu. Pendidikan karakter bangsa adalah usaha sadar dan terencana dalam menanamkan nilai-nilai yang menjadi pedoman dan jati diri bangsa sehingga terinternalisasi didalam diri peserta didik yang mendorong dan terwujud dalam sikap dan perilaku yang baik.
Pendidikan karakter merupakan suatu hal yang sangat penting dalam membangun bangsa yang beradab dan bermartabat, baik di mata Tuhan, dunia internasional, dan manusia. Krisis karakter kebangsaan yang kini semakin mewabah di kalangan generasi muda, bahkan generasi sebelumnya semakin melahirkan keprihatinan demi keprihatinan.
Pendidikan karakter dalam Pembelajaran Matematika
Karakter suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas karakter sumber daya manusia (SDM) bangsa tersebut, karenanya karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Kondisi pendidikan di sekolah sekarang ini cenderung mengembangkan aspek kognitif siswa, dimana aspek selain kognitif seperti afektif kurang mendapat perhatian bahkan terabaikan. Sehingga kebanyakan siswanya walau mempunyai nilai yang tinggi tapi belum menjamin memiliki sikap yang baik. Dalam mengembangkan karakter apa yang dapat ditumbuhkan pada siswa pada bidang mata pelajaran matematika tentunya seorang guru harus mengenal karakteristik dari setiap konsep matematika. Karakteristik apa yang terkait dengan karakter atau sifat manusia. Jika kita tahu karakteristik matematika yang memiliki hubungan erat dengan sifat dari manusia, tentunya kita dapat mengembangkan sebuah pengajaran matematika dengan menanamkan nilai-nilai dari setiap konsep matematika. Dampak karakteristik dari konsep matematika itu apabila ditanamkan dalam kehidupan siswa tentunya akan berdampak positif terhadap sikap siswa. Dampak positif pembelajaran matematika yang berkaitan dengan sikap terpuji atau akhlak mahmudah adalah sebagai berikut:
- Sikap Jujur, Cermat, dan Sederhana
Dalam proses perhitungan untuk menentukan hasil dari jawaban menggunakan teorema ataupun definisi dibutuhkan sikap ketelitian, kecermatan, dan ketepatan. Setelah didapatkan hasilnya tentu kita memerlukan proses pengecekan dari langkah-langkah yang telah kita lakukan. Apakah langkah-langkah tersebut sudah sesuai dengan teorema atau tidak. Jangan sampai langkah yang kita buat melenceng dari teorema sehingga tentunya jawaban akan salah. Oleh sebab itu, perlu ketelitian dan kecermatan. Dalam matematika juga terdapat prinsip kejujuran. Dimana ketika kita melakukan proses dalam matematika dan tidak sesuai dengan prinsip atau teorema-teorema yang ada tentunya pekerjaan kita akan salah. Dan seseorang tidak dapat mengelak itu ataupun berkilah dengan dasar di luar matematika untuk membenarkan hasil pekerjaan yang salah tadi. Sebaliknya, seseorang tidak dapat menyalahkan sebuah definisi atau teorema yang sudah terbukti kebenarannya untuk mencapai tujuan dari perhitungan yang diinginkan oleh seseorang. Seperti contoh:
“Jika dalam matematika sudah menyepakati bahwa -2 x 4 = -8, tentunya tidak boleh membenarkan -2 x 4 = 8. Dengan dalih apapun seseorang tidak dapat membantah itu karena tujuannya adalah menghasilkan 8.”
Matematika juga mengajarkan prinsip kesederhanaan yang artinya seefektif mungkin menggunakan langkah-langkah untuk menuju pada hasil yang benar. Kita sering dengar adanya perhitungan cepat. Tentunya dalam perhitungan cepat tidak mengabaikan langkah-langkah atau prinsip sesuai dengan teorema. Tapi, tentunya ketika seseorang yang sudah faham dapat melangkah lebih jauh dari setiap langkah itu yang terpenting tidak menyalahi aturan yang ada dalam matematika. Seperti contoh:
Dalam opersai bilangan 25 x 25 = . . .?
Ada orang yang menjawabnya dengan langkah:
Akan tetapi bagi seseorang yang sudah mengetahui sifaf-sifat perkalian bilangan 5 langsung menjawabnya:
25 x 25 = (2×3) 25 = 625
Jawaban yang kedua lebih tepat dan lebih hemat waktu akan tetapi perlu mengetahui sifat dan prinsip matematika.
- Sikap Konsisten dan Sistematis Terhadap Aturan
Matematika adalah ilmu yang didasarkan pada kesepakatan-kesepakatan yang sistematis dan dari kesepakatan itu seseorang yang bekerja dengan matematika harus menaatinya. Sebagai contoh kalau dalam matematika jumlah sudut dalam segitiga = 180⁰ dalam geometri euclid. Tentunya kita harus menaatinya untuk membuktikan kebenaran selanjutnya. Kita tidak boleh menabrak kesepakatan itu kalau tidak mau dikatakan salah.
Aturan-aturan dalam matematika itu tersusun rapi secara sistematis mulai dari definisi ataupun kebenaran pangkal yang tidak perlu pembuktian karena sudah terbukti kebenarannya. Kemudian adanya teorema yang merujuk pada sebuah definisi harus dibuktikan kebenarannya. Teorema akan menimbulkan sebuah akibat yang disebut Lemma ataupun Corollary. Tidak hanya itu pada bagian-bagian matematika juga sudah tersusun rapi secara sistematis seperti contoh pada konsep bilangan: bilangan kompleks didalamnya terdapat bilangan real dan imajiner. Dalam bilangan real ada bilangan rasional dan irrasional. Di dalam bilangan rasional terdapat bilang bulat dan pecahan. Dari contoh tersebut matematika sangat sistematis dan harus ditaati dalam proses pengerjannya.
Menjadi seorang pemimpin harus berpegang pada kebenaran dari aturan yang sistematis dan konsisten menjalankannya. Amanah yang diberikan oleh rakyat harus dijalankan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh rakyat. Konsistensi itu harus selalu ada pada kondisi apapun.
- Sikap Adil
Dalam matematika terdapat prinsip keadilan dalam hal sebuah persamaan. Seperti contoh:
, tentukan nilai x! (solusi dari persamaan).
untuk mencari solusi dari persamaan tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
Kalau kita lihat operasi pada ruas kiri harus sama dengan ruas kanan. Jadi dalam pengerjaanya terdapat prisnsip keadilan dalam matematika.
- Sikap Tanggung Jawab
Dalam matematika ada yang dinamakan proses pembuktian baik secara induktif ataupun deduktif. Dalam proses pembuktian terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan dan semuanya itu didasarkan pada kebenaran dan alasan yang kuat. Seperti contoh: untuk membuktikan Luas Daerah Segitiga = ½ ×alas×tinggi, kita memerlukan langkah-langkah yang terkait misalkan salah satunya dengan menggunakan teorema phytagoras yang sudah dibuktikan kebenarannya. Jadi, untuk membuktikan luas daerah segitiga tersebut dalam langkahnya kita memilih menggunakan teorema phytagoras karena alasan yang kuat yaitu sudah terbukti kebenarannya dan terkait dengan prinsip-prinsip segitiga.
- Sikap Percaya Diri dan Tidak Mudah Menyerah
Sikap percaya diri amat sangat dibutuhkan oleh siswa. Seorang siswa akan menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik bila memiliki kepercayaan terhadap kemampuan yang dimilkinya. Dalam matematika sendiri untuk menyelesaikan sebuah persoalan matematika dituntut untuk percaya diri dalam mengerjakannya. Biasanya dalam pembelajaran matematika tidak jarang siswa yang suka mencocok-cocokan jawabannya dengan jawaban temannya, dengan alasan apakah jawabannya itu benar atau salah. Tapi, terkadang karena kurang percaya dirinya siswa tersebut ketika jawabannya berbeda dengan temannya bukan malah termotivasi untuk mencari jawaban yang benar tapi sebalikanya siswa tersebut merasa jawabannya salah dan ia pun menyerah, kemudian menyontek jawaban temannya yang belum tentu benar.
Model Pembelajaran Matematika terintegrasi nilai-nilai anti korupsi
Model pembelajaran matematika terintegrasi nilai-nilai Agama dapat dijelaskan sebagai berikut:
Implementasi Model Pembelajaran Matematika terintegrasi nilai-nilai anti korupsi di sekolah.
Gagasan untuk memanfaatkan model pembelajaran matematika terintegrasi nilai-nilai agama, sulit untuk diimplementasikan tanpa peran dari pihak-pihak berikut, antara lain:
- Pemerintah
Pemerintah bertugas menguji kelayakan model pembelajaran matematika terintegrasi nilai-nilai agama dari hasil-hasil studi tersebut kemudian disosialisasikan kepada bagian pengembangan kurikulum Pendidikan Karakter Bangsa untuk bekal pengembangan model pembelajaran yang kemudian dapat diterjemahkan ke kurikulum sehingga selanjutnya bisa menjadi acuan yang digunakan oleh guru. Jika kurikulum sudah terbentuk, pemerintah pun seyogyanya memperlancar implementasi gagasan ini dengan menyediakan fasilitas sarana dan prasarana awal seperti buku dan alat penunjang lainnya. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi pihak sekolah atau guru untuk mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri
- Kepala Sekolah dan Guru
Kepala sekolah bertugas mengontrol segala bentuk inovasi model pembelajaran dengan membantu pengadaan sarana dan prasarana penunjang. Guru bertugas untuk menerjemahkan kurikulum yang sudah ada ke dalam proses belajar, dengan menyesuaikan kemampuan dan kreatifitas diri serta sarana dan prasarana di sekolah. Guru juga bertindak sebagai motor penggerak utama jalannya pemanfaatan permainan tradisional dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, baik melalui mata pelajaran, kegiatan pengembangan diri, maupun budaya sekolah.
Kesimpulan
Model pembelajaran matematika terintegrasi nilai-nilai agama merupakan salah satu upaya menjawab tantangan kemerosotan karakter bangsa. Pemanfaatan permainan Model pembelajaran matematika terintegrasi nilai-nilai agama merupakan suatu inovasi kreatif yang dapat diterapkan pendidik untuk mengembangkan nilai-nilai karakter dan budaya dalam pendidikan di sekolah. Setiap pembelajaran hendaknya memberi manfaat kepada siswa baik secara kognitif, afektif dan psikomotor serta dapat memberikan nilai-nilai luhur untuk membentuk sebuah karakter bangsa. Pengintegrasian konsep matematika dengan nilai-nilai agama sangat penting diterapkan sebagai cara pembentukan karakter bangsa. Sehingga, perlu dikembangkan secara terus menerus analisa materi matematika dengan mengaitkan agama yang merupakan pegangan hidup manusia. Jika model pembelajaran matematika terintegrasi nilai-nilai agama dapat terlaksana dengan optimal ditambah dukungan dari berbagai pihak terkait, maka model tersebut dapat menjawab tantangan kemerosotan karakter bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.2010.Pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Bahan pelatihan penguatan metodologi pembelajaran berdasarkan nilai-nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa: Kementrian Pendidikan Nasional.
Bramy Biantoro, 2016. Jangan gampang terpengaruh, ini 7 cara kenali hoax di dunia maya!. https://www.merdeka.com/teknologi/jangan-gampang-terpengaruh-ini-7- cara-kenali-hoax-di-dunia-maya.html.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1997. Pembinaan Nilai-nilai Budaya Melalui Permainan Rakyat di Daerah Jambi. Jambi: Lazuardi Indah.Jambi.
Maarif. 2015. Integrasi Matematika dan Islam dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung. 4(2): 226.
Setyawati. 2017a. Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Pembentukan Karakter Bangsa. Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan.1(2):348.
Setyawati. 2017b. Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Pembentukan Karakter Bangsa. Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan.1(2):349.